Kearifan Lama yang Terlupakan Warisan Herbal dalam Peradaban Islam

 


Kearifan Lama yang Terlupakan: Warisan Herbal dalam Peradaban Islam

Jauh sebelum istilah “produk herbal” menjadi tren global, peradaban Islam telah memiliki warisan pengetahuan yang kaya tentang pengobatan alami dan pemeliharaan kesehatan. Sejak masa Rasulullah ﷺ, umat Islam diajarkan bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah, dan tubuh adalah amanah yang harus dirawat dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari). Prinsip sederhana ini menjadi dasar lahirnya thibbun nabawi — pengobatan Nabi — yang mengajarkan keseimbangan antara tubuh, jiwa, dan lingkungan.

Dalam tradisi Islam, pengobatan herbal bukan hanya praktik medis, melainkan juga manifestasi kearifan spiritual. Rasulullah ﷺ menggunakan bahan-bahan alami seperti madu, habbatussauda (jintan hitam), zaitun, kurma, dan air zamzam sebagai sarana penyembuhan. Setiap bahan memiliki nilai tidak hanya karena khasiatnya, tetapi juga karena doa dan niat yang menyertainya. Misalnya, madu disebut dalam Al-Qur’an sebagai obat yang penuh keberkahan:

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat kesembuhan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)

Ayat ini bukan hanya tentang madu, tetapi juga tentang keterhubungan antara alam dan manusia dalam sistem ciptaan Allah yang sempurna. Segala sesuatu yang diciptakan di bumi mengandung manfaat jika dimanfaatkan dengan niat yang benar dan cara yang baik.

Seiring berkembangnya peradaban Islam, pengetahuan tentang herbal dikembangkan secara ilmiah oleh para ulama dan ilmuwan Muslim. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna) dengan karya monumental Al-Qanun fi al-Tibb (Canon of Medicine)Al-Razi (Rhazes) dengan Kitab al-Hawi, dan Ibn al-Baytar dengan Kitab al-Jami’ li Mufradat al-Adwiyah wal-Aghdhiya, menjadi bukti bahwa dunia Islam pernah menjadi pelopor riset medis dan farmakologi berbasis alam. Mereka tidak hanya mengumpulkan data empiris tentang tanaman obat, tetapi juga menyatukan logika ilmiah dengan etika spiritual — sesuatu yang kini sering hilang dalam praktik medis modern.

Para ilmuwan Muslim memahami bahwa kesehatan tidak bisa dipisahkan dari moral dan lingkungan. Konsep holistic wellness yang kini banyak dipromosikan di dunia Barat sejatinya sudah lama hidup dalam peradaban Islam. Mereka mengajarkan keseimbangan (mizan) antara unsur panas dan dingin, kering dan basah, serta menghubungkannya dengan kondisi psikologis dan spiritual manusia. Dengan kata lain, obat terbaik adalah keseimbangan hidup, bukan sekadar bahan kimia.

Sayangnya, seiring kolonialisasi dan dominasi sains Barat, banyak warisan herbal Islam yang terlupakan atau dianggap kuno. Ilmu yang dulu menghubungkan akal dan wahyu terpisah menjadi dua dunia: dunia medis modern yang mekanistik dan dunia spiritual yang dianggap tidak ilmiah. Akibatnya, manusia modern kehilangan dimensi nilai dalam ilmu kesehatan — padahal, di masa lalu, pengetahuan itu justru menjadi satu kesatuan yang utuh.

Kini, kesadaran untuk menggali kembali warisan herbal Islam mulai bangkit. Generasi baru ilmuwan Muslim berusaha menggabungkan riset ilmiah modern dengan nilai-nilai thibbun nabawi. Mereka sadar bahwa kearifan lama bukan untuk digantikan, tetapi diperbarui dan disinergikan dengan teknologi masa kini.

Kearifan herbal Islam adalah bukti bahwa ilmu tidak pernah lepas dari nilai. Ia bukan hanya tentang penyembuhan penyakit, tetapi tentang menyembuhkan hubungan manusia dengan Tuhan dan alam. Maka, menghidupkan kembali warisan ini bukan nostalgia, melainkan ikhtiar peradaban untuk menghadirkan keseimbangan baru di tengah dunia yang sakit oleh keserakahan dan kehilangan arah spiritual.

Komentar